Terima Kasih Sudah Berkawan: Mencoba Menghitung Mundur Waktu

10:12




"Is nabung buat liburan yuk," ajak Rizzaq.
"Emang udah sembuh?"
"Ya nanti kalau udah sembuh"
"Yuk! Mau ke mana?"
"Bali"

****

Malam ini tepat pukul sembilan. Biasanya libur kerja seperti ini selalu tak pernah absen untuk berkumpul bersama teman, atau sekadar buang waktu di mall, beli makan, atau thai tea favorit.

Rutinitas 'boros' seperti itu berubah, ketika virus corona atau COVID-19 masuk ke Indonesia dan mulai menyasar sejumlah orang di berbagai wilayah. Bayangkan saja, ketika aku menulis ini, sudah ada 2.272 orang terinfeksi, 198 di antaranya telah meninggal dunia. Kabar baiknya, ada 164 jiwa yang dinyatakan sembuh. Bagaimana dengan kasus di dunia? Sudah lebih dari satu juta orang terinfeksi. Sesak!

Sudah beberapa hari ini, kos juga sepi. Menyisakan tiga orang saja. Penghuni lain masih 'terjebak' di kampung halaman dan belum berani pulang. Jangan tanya seperti apa rasanya di kamar berminggu-minggu. Bosan! Penat! Hiburan hanya sekadar akses internet. Ngobrol pun hanya melalui telepon atau balas-membalas pesan. Media sosial kadang jadi senjata paling ampuh untuk membunuh waktu. Sangking ampuhnya tahu-tahu sudah pukul 12 malam.

Sendirian di kamar tanpa kegiatan apapun bikin pikiran 'lari' ke mana-mana. Ke masa lalu, atau coba merancang masa depan --yang belum tahu akan seperti apa. Bahkan pernah berpikir, bagaimana jadinya jika waktu bisa dihitung mundur? Apa bisa memperbaiki kesalahan di masa lalu, atau benar-benar menikmati momen dengan orang terdekat.

4 Februari 2020

Malam itu aku kerja. Sibuk cari-cari konten. Di sela-selanya juga diskusi ringan bersama rekan kantor, yang kebetulan sama-sama piket malam.

Hampir pukul 8 malam kala itu, perut sudah 'teriak' pertanda untuk diisi. Bergegaslah kutelusuri menu di aplikasi ojek online. Cari-cari menu yang bisa memanjakan lidah. Terpikir juga malam itu untuk langsung ke tempat nasi goreng favorit di Jalan Kaliurang kilometer 12.

Tiba-tiba layar teleponku berdering. 'Mbak Arum' tertulis di layar.

2014

Pertengahan tahun kala itu, kampus dihiasi dengan wajah-wajah baru. Maklum, mahasiswa angkatan 2014 baru saja memulai perkuliahannya. Beberapa sibuk cari teman-temannya waktu ospek, beberapa bingung mencari kelas, beberapa terlihat duduk di bangku-bangku kampus sembari memainkan teleponnya, dan beberapa lagi sedang dimodusin kakak tingkat, atau sebalinya(?)

Aku, dan teman-teman lainnya duduk di bangku taman. Salah seorang temanku --yang memang tidak tahu malu, sedari tadi sibuk menggoda adik-adik tingkat. Aku dan lainnya, sibuk ngobrol, rancang-rancang rencana liburan seru ketika weekend nanti.

"Kak Ais ikut teater dong," kata kawanku, Bella, melalui pesan telepon.
"Lho sudah ada?"
"Sudah, ikut ya pertemuan pertama besok Jumat sore."
"Iya nanti aku ikut."
"Oke ditunggu."

Sayangnya, aku tidak bisa ikut pertemuan pertama. Baru pertemuan kedua aku bisa ikut, yang mungkin isi pembahasannya pun masih sama seperti minggu kemarin: pengenalan.

"Kak Ais. Manarita (Managemen Produksi Pemberitaan) kan?" tanya adik tingkat yang kemudian aku tahu kalau namanya Rizzaq.
"Iya, gimana?"
"Manarita itu gimana sih kak?"
"Pelajarannya?"
"Ia kak, seru nggak," tiba-tiba yang lainnya ikut bertanya, kalau tidak salah ingat namanya Anin.
"Seru kok, soalnya...." jawabku sembari sotoy menjelaskan pelajaran asyik dan tidak di program study yang kami ampu.

Di tengah-tengah obrolan, Yuda, penggagas teater kembali mengumpulkan kami. Katanya, dia tidak main-main dalam membangun komunitas baru ini. Dia ingin dalam waktu dekat akan ada pementasan perdana kami. Beberapa orang yang sekiranya masuk dalam naskah akan dipilih untuk berperan dalam pementasan perdana kami kala itu. Beberapa lainnya, bisa menjadi tim penting di belakang layar.

"Saya mau semua yang ada di sini punya pengalaman tampil di depan layar," kata Yuda dengan suara khasnya.

Benar saja, aku yang semula ikut teater hanya 'iseng' pun ikut main dalam salah satu pementasan. Tak main-main, bahkan jadi pemeran utama. Kamu tahu rasanya berakting di depan banyak orang, itu menyebalkan. Bahkan malam sebelum pentas, aku tidak bisa tidur. Takut kalau mendadak demam panggung dan lupa dialog. Beruntung eksekusi berjalan mulus, meski aktingku terasa sampah.

pementasan utama tater kami tidak berjalan mulus di tahun 2014. Sebab, banyak kendala termasuk perizinan tempat dan yang paling utama, uang. Sehingga, setiap minggunya hanya diisi oleh materi, sesekali latihan fisik, main games,atau ngobrol. Aku? Jangan ditanya, sudah pasti berkumpul dengan 'geng' pemalas lainnya, termasuk Rizzaq, dan bergosip di pojok ruangan.

Cepat sekali rasanya sudah memasuki tahun 2015. Aku waktu itu sedang sibuk-sibuknya mengurus komunitas TV kampus. Sebab, mau pergantian jabatan. Aku sebenarnya malas untuk ikut mengurus, cuman karena 'tidak ada orang lain' jadilah untuk ikut ambil alih. Kesibukan di TV kampus dan juga praktik kuliah yang mulai 'gila' bikin aku jarang berkumpul di teater. Hanya sesekali ketika senggang.

'Anda diundang untuk masuk grup'

"grup?" tanyaku dalam hati

Ternyata grup itu diisi oleh beberapa penggerak di teater. Membahas tentang keseriusan untuk menggarap pementasan perdana. Rapat dimulai di salah satu rumah kawan malam itu juga. Aku bersama Fahri, teman satu kos yang juga ikut teater, bersama berangkat ke rumah kawan kami.

"Is kamu jadi MC ya," kata Yuda to the point.
"Hah? Aku?"
"Iya, sekalian jadi koordinator acara ya."
"Hah?"
"Nggak ada pilihan lain Is, soalnya acaranya bakal dimulai dua minggu lagi."
"Hah??"

Meski singkat, proses pementasan perdana cukup berjalan mulus. Tak bisa dipungkiri, sistemnya masih kacau balau. Namun, tak bisa ditepis kalau pementasan yang dibangun dalam waktu singkat itu membuahkan hasil yang cukup bikin puas. Tak hanya itu, berkat proses yang-super-ribet itu, membuat anggota teater makin dekat.

Termasuk geng FOT, kelompok yang berisi Aku, Rizzaq, Alfin, Wawak, Peni, Daus, dan Mila. Mula-mula hanya teman nongkrong biasa, berlanjut jadi teman curhat, bahkan teman liburan.

Tak bisa dipungkiri, setiap kelompok pasti memiliki teman yang akrab. Aku dan Rizzaq. Mulanya dia memanggil aku dengan 'Kak,' karena beda dua tingkat di angkatan kampus, lambat laun hanya memanggil nama. Mulanya hanya membahas obrolan seputar kampus, berlanjut menjadi gosip.

Sejak dulu, aku paling susah berkawan dengan laki-laki. Pernah waktu SMA, aku dirundung karena sering bermain dengan perempuan. Katanya, aku harus bermain dengan laki-laki. Jadilah, beberapa kali aku membaur dengan sekelompok geng laki-laki di sekolah. Rasanya, susah. Pembicaraan mereka banyak yang tidak aku mengerti. Bahkan, mereka kadang merundung anak-anak lainnya yang terlihat 'lemah.'

Lalu, bukan berarti aku tidak punya teman laki-laki. Tentu punya. Rekor terbanyak punya teman berjenis kelamin pria itu waktu kuliah. Sebelumnya, satu dua tiga orang saja.

"Jak ikut ke rumahmu dong, jalan-jalan, bosen nih," kataku ke Rizzaq ketika kita baru kelar latihan teater di kampus dan setelah dia pamer pemandangan di kotanya, Sukorejo.
"Yuk, Sabtu ini aku pulang."
"Sumpah? Yuk!"

Sabtu paginya dengan mengendarai sepeda motor, kami berangkat ke Sukorejo. Cukup jauh ternyata, sekitar dua jam lebih. Melewati kota, perkampungan, hingga hutan-hutan. Sebelum tiba di rumahnya, kami menyempatkan menyantap sop buah di alun-alun kota Temanggung.

Sesampainya di rumahnya, aku disambut hangat keluarganya. Ngobrol dengan kakaknya, Mba Arum, dan ibunya. Malamnya diajaknya aku berkeliling kota tempatnya tinggal. Namun sebelumnya, kami mampir ke pabrik tahu, tempat bapaknya bekerja.

"Mas Ais, ambil tahunya, nggak apa apa, makan," ibunya menawarkan tahu yang dipajang di pabriknya.

Aku, langsung buru-buru mengambil tahu kopong, yang memang sedari awal masuk pabrik sudah aku lirik. Setelah dari pabrik kami melanjutkan jalan-jalan.

"Di sini jam 9nan sudah sepi," katanya sembari mengelilingi kota.

Benar. Sejauh mata memandang, hampir tidak ada kendaraan yang lewat. Hanya beberapa saja. Itu pun anak-anak muda yang tidak pakai helm.

"Di sini memang jarang yang pakai helm," kata Rizzaq seolah bisa membaca pikiranku.

Minggunya, kami berwisata ke air terjun di sana. Rasanya senang. Akhirnya bisa melihat pemandangan alam yang memanjakan mata.



Sejak saat itu, aku dan Rizzaq jadi sering berlibur bersama. Seolah terencana, hampir setiap bulannya kami mengunjungi tempat wisata lokal di Jogja atau sekitar Jawa Tengah. Pernah, memasuki tahun baru 2017, kami melewati tahun baru di Semarang. Sayangnya, malam itu hujan turun dengan deras.

Tak melulu liburan, nonton pun jadi rutinitas baru kami. Dulu aku kurang tertarik menonton di bioskop. Sebab, nonton film bukan hobiku. Percaya atau tidak, untuk mengusir penat, aku lebih baik membaca novel. Namun, berubah. Aku jadi ketagihan nonton film. Sudah tak terhitung berapa film yang telah kami tonton. Mulai dari film favorit, film yang sedang banyak diperbincangkan, bahkan film yang akhirnya kami sesali setelah menontonnya.

Kuliner? Tempat makan andalan kami adalah SS. Biasanya kami berbagi lauk dan sayur. Rizzaq tidak suka pedas, aku wajib mesan sambal tomat ketika makan di SS. Seolah ingin menantang diri, Rizzaq terkadang mengambil sedikit sambalku dan ditambah kecap manis.

Tak melulu mulus-mulus saja, kami juga pernah debat perihal masalah sepele. Mulai dari caraku mengendarai motor, atau caranya berbicara --yang lebih pedas daripada aku.

Sudah tak terhitung hari kami lewati dengan berlibur, makan bersama, belanja, nonton, atau sekadar ngobrol. Bahkan, kami pernah satu kantor. Aku sebagai content writer, Rizzaq sebagai reporter lapangan.

"Ya kamu enak kerjanya cuman nulis, aku liputan!" katanya dengan nada tinggi.
"Enak gimana, setiap hari mikir konten, kamu yang enak, udah ada bekal mau nulis apa!" kataku dengan suara tinggi seolah tak mau kalah.
"Enak gimana! Aku lho reporter sendirian! Harus ngulik berita ke sana ke mari, kamu ada mba Wawa dan mba Dita!"
"Ya kan bisa nyari berita yang penting"
"semua penting!"

Malam itu kami berdebat perihal masalah kerjaan. Terlihat wajahnya memerah karena kesal. Fisiknya juga terlihat tidak cukup sehat. Bahkan pernah, menuju tahun baru 2019, yang seharusnya dia liputan mendadak tidak jadi karena kesehatannya kurang baik.

"Aku mau resign," ungkap Rizzaq.
"Yakin? Kamu baru kerja beberapa bulan lho."
"Capek aku Is."

Lupa pada hari apa, yang saya ingat, Februari Rizzaq sudah resmi mengundurkan diri. Kebiasaan makan dan nonton bersama, resmi perlahan hilang. Diganti dengan kegiatan lainnya. Misal, menghabiskan waktu sampai tengah malam di kantor setelah kerja. Mencoba 'berkawan' dengan teman-teman lainnya. Diskusi film bersama kawan-kawan kantor.

Meski masih bisa berkomunikasi melalui telepon, tapi tetap saja, tidak ada lagi orang yang bisa dengan semangat aku ajak pagi-pagi buta untuk berburu sunrise atau menemani nonton film.

Bulan Maret, pertama kali bertemu Rizzaq setelah dia keluar dari kantor. Seolah melepas rindu, aku menginap di rumahnya. Sudah menjadi rahasia umum, kalau kami bertemu pasti bergosip.

Masih di bulan yang sama, Rizzaq memberi tahu kalau dia akan bekerja lagi di Yogyakarta. Katanya dia bosan di rumah dan memilih untuk mencari kerja. Senang, akhirnya daftar tempat wisata yang belum kami kunjungi akan terlaksana.

Sayangnya, tidak lama setelah itu, Rizzaq kembali resign. Kabarnya, kesehatannya semakin menurun. Obrolan melalui pesan singkat juga mulai berkurang.

Aku, mulai mendapat teman menonton baru, teman ngobrol baru, dan teman makan baru. Rizzaq tetap sama, di rumah, memulihkan kesehatannya.

"Rizzaq di rawat di rumah sakit Temanggung Is," kata Mba Arum.
"Sampai kapan mba? Besok Minggu aku ke sana deh jenguk."

Minggu, aku ditemani Hendry menjenguk Rizzaq. Tak lupa, titipan Rizzaq berupa bakpia kukus dengan rapi aku bawa dari Yogyakarta.

Sesampainya di rumah sakit, dada seolah sesak. Kondisi fisik yang mulai melemah seolah membuat dia terlihat seperti orang lain. Katanya, kalau menjenguknya tidak boleh memperlihatkan wajah sendu. Jadilah 'sok' tegar kuperlihatkan.

Setelah pertemuan itu, kami cukup rutin berkomunikasi. Terlebih aku yang tak pernah berhenti untuk menyanyakan keadaannya. "Banyak nanya banget sih," kata Rizzaq.

Beberapa kabar aku sambut dengan gembira. Sebab, katanya kesehatannya sudah mulai membaik. Rizzaq juga sudah mulai aktif 'berlayar' di media sosial.

"Is nabung buat liburan yuk," ajak Rizzaq.
"Emang udah sembuh?"
"Ya nanti kalau udah sembuh"
"Yuk! Mau ke mana?"
"Bali"



4 Februari 2020 pukul 19:30 WIB

Tiba-tiba layar teleponku berdering. 'Mbak Arum' tertulis di layar.

Aku menatap panggilan telepon itu beberapa detik sebelum mengangkatnya. Pernah tidak kamu seolah sudah tahu isi dari percakapan telepon itu, tapi mencoba pura-pura tidak tahu. Sebelum mengangkat, air mata sudah tak terbendung. Berat rasanya mengangkat telepon itu.

"Halo mba," kataku.
"Is maafin Rizzaq is maafin Rizzaq," ujar Mba Arum dengan suara lirih
"Mba," susah rasanya berbicara pada malam itu, dada seolah sesak. Pernah tidak kamu nangis tidak bisa lagi mengeluarkan air mata, tetapi dada sesak? Ya, malam itu aku merasakannya.
"Maafin Rizzaq Is, Maafin."
"Mba, Rizzaq kenapa?"
"Rizzaq sudah nggak ada Is."

Badanku gemetar malam itu, dada sangat sesak. Kamu tahu rasanya melihat sahabatmu sendiri dimakamkan? Ya, rasanya menyebalkan. 

Kata orang, kita harus bisa mengikhlaskan seseorang yang meninggalkan kita agar orang tersebut bisa tenang di alam sana. Namun, bukannya ikhlas merupakan pekerjaan yang tidak mudah? Karena sepanjang hidup, kita terus belajar dan belajar untuk mengikhlaskan seseorang. (Melankolia)

Selamat jalan Rizzaq. Terima kasih sudah mau berkawan baik denganku.

You Might Also Like

0 comments

haristoyon. Powered by Blogger.

Blog Archive